TEUKU BUJANG bin TEUKU RHI MAHMUD (1891-1959)
(Pahlawan Pergerakan Kemerdekaan asal Aceh yang belum menjadi Pahlawan Nasional)
Lahir di Nisam dengan ibukotanya Krueng Geukueh* pada tahun 1891 (menurut Cut Babujanja) Teuku Bujang menambatkan Krueng Geukueh sebagai ibukota dari Nisam, sedangkan Dewantara adalah nama yang muncul belakangan pada Tahun 1950, yang menurut info dari Masyarakat setempat ada hubungannya dengan Ki Hajar Dewantara, Tokoh Pejuang asal Yogyakarta yang bergerak dibidang Pendidikan yang notabenanya sama dengan Teuku Bujang Salim,
*Krueng Geukueh saat ini adalah Ibukota Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.
Pada Tahun 1901 saat beliau berumur 10 Tahun, beliau diambil oleh Belanda dan disekolahkan di "Sekolah Raja" (Kweekschool) di Bukittinggi, ini adalah siasat Belanda untuk memberi perbedan antara anak raja dan anak pribumi di Aceh dan inilah siasat adu domba Belanda yang nantinya dapat memicu perang antara Raja dan Rakyat Jelata yang kita kenal dengan perang CUMBOK di Aceh, selain Teuku Bujang, banyak lagi anak-anak hulu balang Aceh yang di sekolahkan Belanda, seperti anak Teugku Chiek Thayeb Peureulak, Pidie, Aceh Rayeuk, Kutaraja dan daerah-daerah lainnya.
Teuku Bujang bersekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) sekolah dasarnya belanda dengan lama studi sekitar 7 tahun, lalu melanjutkan ke MULO Sekolah lanjutan tingkat pertama singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs dengan tingkatan yang sama dengan SLTP sekarang, selama 3 tahun dan melamjutkan lagi pada sekolah kweekschool atau sekolah guru di zaman belanda sama seperti SPG yang kita kenal di Indonesia yang akhirnya ditutup.
Setelah menempuh pendidikan selama 10 Tahun di Padang, Teuku Bujang dikembalikan kepada orang tuanya Teuku Rhi Mahmud di Keude Amplah - Nisam dan diangkat oleh Belanda menjadi Zelfbestuurder Negeri Nisam yang beribukota Krueng Geukueh pada tahun 1912 s/d 1920.
Dan dalam masa itu pula beliau menikah dengan Cut Bayu..yang menurut Cut Babujanja adalah anak seorang Teungku Imum Tambon Tunong yang tidak jelas siapa namanya, dan dari Cut Bayu ini, Teuku Bujang mempunyai satu anak yang bernama Babuyu atau kemudian dikenal dengan sebutan Hj. Cut Babuyujang* (mungkin kita merasa aneh dengan nama-nama anak dari Teuku Bujang, menurut Cut Bababuyu anak kelima beliau yang menjadi nara sumber dari tuisan ini), Teuku Bujang memberikan nama anaknya dari kumpulan huruf namanya dan nama isterinya yang dicampur aduk menjadi kata-kata, seperti nama Hj Cut Babuyu dan Cut Babujanja dan nama-nama lain yang akan ditemukan dalam tulisan ini.
Namun jiwanya yang tidak mau dijajah tetap membara dan membuat perlawanan demi perlawanan terhadap Belanda, dengan membentuk Persatuan Muslim Bersatu pada tahun 1921 yang akhirnya membuat Belanda berang dan mengancam akan memberhentikan beliau dari jabatannya dan membuang beliau.
Ancaman ini tidak main-main, pertama kali beliau di tangkap dan dipenjarakan di Keudah - Banda Aceh, dan dibina, namun tidak berhenti disitu, beliau dibawa ke penjara Belanda lainnya di Meulaboh, namun dalam pembuangan demi pembuangan, Teuku Bujang terus menyuarakan kemerdekaan dari jajahan Belanda dan akhirnya kemarahan Belanda memuncak dengan mengancam akan membawa beliau ke Meurauke - Papua.
Dan karena antinya kepada Belanda yang demikian besar, walau dengan berbagai ancaman, tidak membuat Teuku Bujang berhenti melakukan perlawanan secara politik terhadap Belanda, baik dengan cara membentuk Organisasi perlawanan Rakyat maupun memperkuat Masyarakat dengan ilmu agama dan pendidikan umum lainnya.
Ini membuat Belanda semakin geram dan akhirnya pada Tahun 1922, Teuku Bujang Salim diasingkan Meurauke - Papua, dengan meninggalkan anak dan isterinya di Aceh (Cut Babuyujang dan Cut Bayu), pengasingan yang dilakukan Belanda dengan cara melepaskan beliau dengan beberapa orang Indonesia lain, dilokasi pengasingan dengan kondisi alam hutan lebat, jadi tidak ada penjara khusus, mereka dibiarkan hidup dialam lepas dengan kebutuhan hidup yang diberikan oleh Belanda dengan terus memantau pergerakan orang - orang Indonesia lainnya yang sebelum sudah ada disana yang juga diasingkan Belanda, mereka bertani dan bercocok tanam di hutan Papua.
Di Merauke, Teuku Bujang tetap melakukan aktifitas dibdang pendidikan idiologi dan keagamaan yang sangat ditakuti oleh Belanda, dan disana pula beliau menikah kembali untuk kedua kalinya dengan Djawijah binti Karmin, anak dari Pak Karmin seorang pejuang asal Banten yang juga diasingkan Belanda, dan pada Tahun 1934 Teuku Bujang dikarunikan seorang anak laki -laki yang bernama T. Bunjanjayah atau Alm dr H. Bujanjayah bin Teuku Bujang.
Setelah dikaruniakan anak pertamanya dari Cut Djawijah, pada tahun 1935 Teuku Bujang kembali diasingkan Belanda ke Moeven Digul, sebab beliau mengajarkan idiologi kemerdekaan dan ilmu agama di Meurauke.
Moeven Digul berbeda dengan Meurauke, kawasan ini terletak di belantara yang diapit oleh sungai Digul yang dikenal penuh dengan binatang buas seperti buaya dan sebagainya, dan di Digul, tawanan pejuang kemerdekaan ditempatkan dalam penjara yang lumayan luas dan kali ini anak dan isterinya diikutsertakan.
Di Moeven Digul, Teuku Bujang mempunyai Putra/Putri T. Djangdjakedi atau Pak Djang perintis pusat pendidikan di Paloh Lada - Dewantara, setelah T. Djangdjakedi, lahir Putrinya yang bernama Cut Djangjayahdi dan narasumber tulisan ini, Cut Babunjanja dan Gulyankedi yang sampai saat ini menetap di Meurauke - Papua.
Kemudian pada Tahun 1942, Jepang datang dan menggantikan posisi Belanda untuk menjajah dan dengan menyebarkan selebaran ke kawasan Boeven Digul yang berisi khabar pemulangan tawanan Belanda.
Namun para pejuag yang diantaranya Teuku Bujang, belum dipulangkan ke daerahnya, namun diungsikan melalui jalan sungai dengan menggunakan perahu yang tembus kelaut dan dilaut lepas sudah ada kapal induk yang menunggu mereka, kemuidian para tawanan ini diterbangkan ke Australia dengan pesawat yang ada di kapal induk tersebut.
Penjajahan Belanda terhadap Indonesia benar-benar berakhir saat Pemerintah Jepang melakukan penyerangan. Tanggal 27 Februari 1942 tentara Jepang berhasil mengalahkan armada gabungan dari Negara Amerika, Inggris, Belanda, dan Australia. Kemudian, di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, tentara Jepang mulai menginjakkan kaki ke Pulau Jawa. Di sana Letnan Jenderal Hitoshi Imamura mengancam akan menyerang Belanda apabila tidak segera menyerah.
Pada akhirnya setelah mengalami kekalahan terus menerus dari pihak Jepang, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer sebagai Jenderal Hindia Belanda menyerah dan ditangkap. Hal ini menjadi tanda dimulainya masa penjajahan Jepang di Indonesia sekaligus berakhirnya sejarah penjajahan Belanda di Indonesia.
Tahun 1943, Para tawanan Belanda ini di tempatkan di Mackay - Australia dan disana pula Teuku Bujang dianugerahi satu putri lagi yang diberi nama Cut Macaustrali yang saat ini telah almarhum dan dimakamkan di Banda Aceh.
Dalam masa Indonesia dalam jajahan Jepang, para tawanan politik ini berada di Australia sampai tahun 1945 saat Sukarno memprolakmirkan kemerdekaan Indonesia.
Dengan demikian para tawanan perang ini yang disebut orang buangan, dikembalikan kepada pemerintah Indonesia pada akhir 1945, lalu mereka diberangkatkan dari Australia menuju Jakarta pada awal 1946.
Mereka dimasukkan ke kamp Chause Complex, satu bulan kemudian, anggota rombongan lainnya diberangkatkan ke Cirebon dan diserahkan pada pemerintah Indonesia. Sedangkan Bujang Salim, karena anaknya sakit keras, tidak jadi diberangkatkan sampai empat bulan lamanya.
Bujang Salim kemudian berhubungan sendiri dengan pemerintah Indonesia di Pegangsaan Timur dan dibolehkan berangkat ke Purwokerto. Pada 15 Februari 1947 oleh Kementrian Dalam Negeri di Purwokerto, dipekerjakan di sana sementara menunggu kapal yang berangkat dari Cilacap menuju Sumatera.
Pada Maret 1948, ia ditangkap oleh satu pasukan patroli Belanda dan ditahan untuk diperiksa. Dua hari kemudian ia dilepaskan dan dengan dasar janji Belanda di Australia dulu, ia dibawa ke Medan
Pada Februari 1950 dengan bantuan Gubernur Aceh ketika itu, Tgk Daud Beureueh, Teuku Bujang diberangkatkan ke Kutaradja (Banda Aceh). Lalu, 31 Juli 1950 ia pulang ke Krueng Geukueh, yang saat itu berada dalam Nanggroe Nisam dan saat inilah lahir Putri Bungsunnya Cut Aceh Neksom atau Hj. Atjeh Neksom.
Aceh sendiri pada saat itu tengah mengalami masa-masa sulit pasca bergabung dengan NKRI, dimana Daeah Istimewa Aceh digabungkan dengan Provinsi Sumatera Utara, dan berbagia konflik pecah di Aceh ketika itu.
Dan sekembalinya ke kampung halaman Teuku Bujang bergabung dengan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) sambil meletakkan pondasi pembagunan pusat pendidikan dan membangun Ibukota Kecamatan Nisam, yang bernama Krueng Geukueh ketika itu, dan beliau juga mengirim guru-guru di Krueng Geukueh untuk belajar ke Padang dan seterusnya mendidik anak-anak Krueng geukueh dan sekitarnnya disekolah MIN, MTsN dan PGA yang beliau bangun di tanah yang mebeliau hibahkan di dekat sebelah Utara Masjid Besar Bujang Salim.
Beliau akhirnya meninggal pada Tanggal 14 Januari 1959 dan dimakamkan didekat Masjid Besar Bujang Salim yang dibangun atas prakarsanya.
Maka penulis mengajak kepada Muspika Dewantara untuk dapat membersihkan lokasi malam beliau demi menghargai sumbangsih beliau bagi Dewantara, Aceh dan Negara....
TAMAT
Dikutip: fb OPD
Post a Comment